Kali ini, Sassy akan share ke kalian bagaimana cara menganalisis sebuah cerpen dengan baik dan benar. Sebenarnya ini merupakan salah satu tugas sekolah tentang Bahasa Indonesia. Tapi, karena aku ingin berbagi ilmu kepada kalian jadi aku share.. Berikut ini bagaimana cara menganalisis sebuah cerpen sebelum itu, judul novel yang akan saya resensi yaitu "Perempuan Tepi Mekhong":
Perempuan Tepi Mekhong
Ayolah! Coba kau cari di mana airmata
kesedihanku tersimpan! Kau tak kan pernah menemukannya. Karena aku sendiripun
tak tahu dimana letak airmata kesedihanku. Kalau airmata tawa aku punya
berliter-liter. Tiap malam mengucur deras dari sudut mataku sebanyak botol Lau
Lao yang kutengak. Minuman alkohol kelas rakyat khas Laos itu
menghangatkan tubuhku dari terpaan angin sungai Mekhong. Tanktop dan
rok mini tipisku serasa bagai gumpalan selimut bulu domba. Lau Lao
selalu menguatkan hari-hariku di sudut kota Vientiane yang ramai ini.
Satu-satunya bagian kota yang selau ramai dengan kehidupan malam. Bagian kota
yang lain sudah sepi seperti pemakaman Prancis yang megah dengan nisan berpilar
pualam. Minuman keras itu menjaga tawa dan kegembiraanku setiap hari. Hingga
tak kukenal lagi kesedihan. Airmataku hilang tiap butirannya melayang entah ke
alam apa.
Atau aku terlahir dengan hati batu, hawa
salju. Seumur hidupku tak kurasakan airmata kesedihan. Tak pernah kurasakan
hangatnya tetesan mengalir hangat merambati pipiku. Berakhir di ujung dagu.
Seperti apa warnanya? Berkilauankah bagai butir permata menggelinding dari mata, atau kehitam-hitaman
tercemar eyes shadow? Airmata tawaku kehitam-hitaman, sengak bau
alkohol.
“Sabai dee, phii huk! ( Apa kabar
sayang!)” Seorang Thailand menyapaku. Sapaan itu adalah ajakan untukku. Uh!
hari masih terlalu pagi untuk masuk kamar lagi. Keluasan langit malam ini baru
saja kurasakan. Kebebasan udara belum lama kuhirup penuh-penuh. Paru-paruku
rasanya belum setengah terisi. Aku bangun jam empat sore. Santai-santai
berdandan mematut-matut wajah di potongan cermin retak. Sambil sesekali
melempar pandang ke televisi yang siarannya tak kumengerti. Penyiar berwajah
cantik itu berkali-kali bicara dengan bahasa tingkat tinggi, istilah sulit, bahasa
orang terpelajar. Baru setengah jam aku berdiri di depan klub ini. Belum lama
kulitku terkena udara. Rokokku baru setengah kuhisap, masih malas untuk kembali
ke ranjang. Lagipula aku lebih senang melayani tamu bule atau negro, uangnya
lebih banyak. Tamu Asia tak menyenangkan. Rewel dan banyak tuntutan.
“Bor! Bor! ( Tidak! Tidak!),”
tolakku. Senyum segera lenyap dari wajah Thailand. Secepat kilat berubah jadi
cibiran akibat penolakanku. Cuh! Dia meludah di hadapanku. Huh! Sayang katamu?
Sudah lama kata itu jadi hantu buatku. Menakutkan! Aku sering kecewa karena
percaya pada kata itu. Seperti juga yang terjadi padamu Thailand! Sayangmu itu
dalam semenit telah berubah jadi ludah yang jatuh ke tanah kotor.
Ibuku bilang, ia sayang aku. Tapi ia
memukuliku sebagai ungkapan sayangnya. Tanpa dijelaskan dulu kenapa sayangnya
diwujudkan dengan menampar pipiku, atau memukul kakiku dengan tongkat. Ayahku
bilang, aku anak kesayangannya, tapi waktu Ibu menyiksaku dengan kasih
sayangnya. Ayah tak membelaku tapi membelaiku dengan sumpah serapah.
Pamanku bilang, ia adalah dewa
penyelamatku. Aku akan dilimpahinya dengan banyak kasih sayang. Lalu dibawanya
aku ke Vat Xieng Gneun. Sebuah jalan di tepian Mekong. Sisi barat kota
Vientiane. Dijualnya aku disana. Paman tak salah. ‘Sayang’ memang benar-benar
melimpah ruah di tempat ini walau hanya sebatas kata-kata. Murah meriah
bertebaran di mana-mana. Membuatku semakin yakin bahwa sayang yang sebenarnya
tak pernah ada di muka bumi ini.
Sayang tak pernah ada bila tak ada uang.
Ibu memukul karena kehabisan pangan. Ayah marah karena tak tahu cara untuk
menambah penghasilan. Paman hanya memanfaatkan kesempatan melihat kemiskinan.
Semua itu membuatku harus berkorban demi kasih sayang kepada keluarga. Atau
demi apa aku tak paham. Apa demi adik-adikku yang berjumlah lima orang? Atau
untuk Ayah yang tak mampu bertanggung jawab, karena sebagai petani kecil
penghasilannya juga kecil. Mungkin hanya sekedar mengendorkan saraf Ibu, yang
selalu menegang bila melihat adik-adikku berebut makanan. Bisa juga untuk
menambah modal berjudi Paman. Sungguh sayang yang menyakitkan.
“Chau sa
bai dee bor? (Apa kabarmu baik saja)” Oley pengemudi tuk-tuk
tertampan di sepanjang Vat Xieng Gneun, menanyakan kabarku hari ini.
“Dee Chai (Baik saja),” jawabku
sambil mengalihkan pandang. Tatapan mata Oley selalu membuatku bergetar. Hatiku
mengeligis pedih, aku sadar akan perasaan yang sedang tumbuh di hatiku.
Perasaan yang ditimbulkan tatapan mata Oley.
“Thuppy, koi hak choi ( Thuppy, aku cinta padamu).”
“La kon Oley! ( Sampai jumpa
Oley).” Aku mengusirnya. Bukan karena aku tak suka tapi karena keberadaan Oley
yang begitu dekat membuatku salah tingkah, aku jadi tak bisa menjajakan
senyumku dengan baik. Bisa-bisa senyumku tak laku malam ini, karena terlihat
kaku. Tatapan mata Oley sering membuatku beku. Apalagi pernyataan cintanya,
hatiku kaku-kaku tak bisa bergerak bila Oley berkata begitu.
Kata cinta itu telah begitu banyak
meluncur dari mulut Oley. Tapi tak sedikit pun aku memberinya kesempatan untuk
berkata lebih dari itu. Tak kuberikan sedikitpun kesempatan pada diriku untuk
mendengar lebih dari itu. Seandainya aku bukan pelacur dan Oley bukan penjaja
mariyuana yang berkedok supir tuk-tuk. Kami pasti sudah beranak dua
tahun ini.
Andai aku tak terdampar di jalan kelam
ini. Dan Oley masih menggarap ladang orang tuanya di Luang Prabang. Kami pasti
bisa membentuk keluarga kecil yang tenang. Dengan kesederhanaan. Tanpa
kemeriahan yang memabukkan seperti di jalan ini. Hanya desah sawah, derai
sungai, berisik jengkerik yang memenuhi hari-hari.
Perkawinan seorang pelacur dan penjaja
mariyuana tak akan berjalan lancar. Perkawinan Jay dan Kova hanya berjalan tiga
bulan. Dan yang tiga bulan itu merenggut semua senyum Kova. Sekarang tanpa
mariyuana Kova teronggok lemas tak berdaya. Aku tak mau itu terjadi padaku. Aku
tak mau kehilangan senyumku hanya karena cinta Oley.
Aku ini perempuan yang harus selalu
tersenyum. Karena tanpa senyum aku tak bisa menyambung hidupku. Aku harus
selalu tersenyum karena senyum adalah bagian dari pekerjaanku. Pelanggan akan
memberi uang lebih, bila aku lebih banyak memberinya senyuman. Senyumku adalah
hidupku. Senyum model apapun itu. Senyum manis yang mengundang, senyum nakal
dengan sedikit godaan, atau senyum puas sesaat sesudah melayani. Senyum tak
boleh lepas dari bibirku.
Aku selalu tersenyum. Ketika sedang duduk
menunggu pelanggan, ketika telentang di hadapan lelaki hidung belang, ketika
hari teriris sepi di sudut tikungan jalan. Saat menatap Oley yang termangu di
belakang kemudi tuk-tuk terbungkus asap rokok. Senyumku untuk setiap
kata sayang yang terucap. Senyumku untuk setiap lembaran kip, dolar,
atau bath. Mata uang negeri manapun. Senyumku yang palsu untuk setiap
kata sayang yang juga palsu itu.
Bibir ini sekarang sudah jadi mesin senyum
saja. Kompak dengan mataku. Kata orang mata tak bisa bebohong. Tapi mataku
bekerja sama dengan bibirku adalah pembohong yang ulung. Mereka membohongi
semua orang dengan senyum dan kerling. Membohongi hatiku yang selalu merasa
muram.
Oley melambaikan tangan dengan wajah
sendu, setiap aku digandeng lelaki untuk diajak kencan. Malam ini pun dia hanya
memandang saja ketika aku sengaja lewat di depan tuk-tuknya mangkal.
Sambil menyandarkan kepala pada bahu seorang negro kupandang wajahnya yang
tampak pasrah. Uh! Kenapa tak kau tonjok saja negro mata keranjang ini! Bawa
aku lari dengan tuk-tukmu, seperti seorang super hero yang
muncul dari langit dan membawaku terbang ke angkasa.
Bukankah seharusnya ia cemburu? Bila ia
memang punya cinta untukku. Cinta dan cemburu seperti sendok garpu, tak lengkap
bila salah satu tak ada. Tapi tetap saja bisa digunakan walau pasangannya tak
ada. Sendok bisa digunakan tanpa garpu begitu pula sebaliknya. Bisa cinta atau
cemburu saja, atau tidak keduanya sekaligus. “Jadi seperti apa cintamu itu?
serasa apa sayangmu itu? Oh, Oley sampai hari ini aku hanya mendengarnya
terucap dari mulutmu saja. Kurasa itu perlu dibuktikan lebih dulu. Entah dengan cara apa. Aku tak
tahu Oley.”
Selembar kertas terjatuh dari tanganku,
aku menemukannya terselip di bawah pintu. Tanganku bergetar tak sanggup
menyangga beban yang tertulis di atasnya.
Aku tak tahan melihat senyuman di
bibirmu Thuppy. Betapa aku ingin juga meikmati senyummu seperti banyak
laki-laki lain. Tapi aku terlalu mencintaimu. Aku tak bisa menyikapimu seperti
semua laki-laki itu. Seandainya aku elang, akan kusambar tubuhmu. Kubawa ke
sarangku di puncak tebing curam yang tak terjangkau mahluk apapun. Hanya ada
kau dan aku. Tapi aku dan kau seperti Laos dan Thailand. Hanya tipis terbatasi
Mekong. Begitu dekat tapi tetap saja di seberang.
Maafkan aku Thuppy, Pada kenyataanya aku terlalu
pengecut. selamat tiggal Thuppy. Oley
Membaca surat Oley, ada rasa panas yang
keluar dari dada. Merambat ke atas ke arah kepala. Hendak menuju mata, Tapi terhenti
sampai di leher saja. Senyumku menghambatnya. Akibatnya leherku terasa
tercekik.
Aku ini perempuan yang selalu terseyum.
Apapun yang terjadi aku selalu tersenyum. Cobalah kau cari dimana airmata
kesedihanku tersimpan. Tak mungkin ditemukan. Karena sekarang aku yakin aku tak
memilikinya.
Aku tetap
tersenyum. Bahkan ketika kulihat mayat Oley terapung-apung di Mekong.
Note. TUK-TUK : SEPERT BAJAJ, KENDARAAN KHAS LAOS DA THAILAND
LAU LAO : MINUMAN KERAS KHAS LAOS.
Pengarang
: Ariyani
Disusun
oleh : Siti Aisyah Romliana Audreylivia
I.
Unsur
Intrinsik
® Tema : Perempuan malang terdampar di Tepi Mekhong
® Tokoh : Thupy
Oley
®
Penokohan
: 1. Thuppy mempunyai
watak rela berkorban demi orang lain
meskipun harus melukai harga dirinya dan selalu ceria dalam menjalani
kehidupannya.
2.
Oley mempunyai watak pengertian dan sabar menghadapi takdir hidupnya.
®
Alur
: Maju
®
Latar
: Tempat =
Thailand
Kota
Vientiane
Waktu = Pagi hari
Siang hari
Malam hari
Suasana = Mengharukan dan menegangkan
®
Sudut
Pandang : Dalam cerpen ini
menggunakan orang pertama karena, Thuppy menceritakan kehidupan yang kelam menjadi
seorang pelacur di klub malam dan kisah percintaannya dengan Oley.
®
Nilai
Moral :
Positif = Thuppy memberikan kesan yang sangat mendalam
untuk perempuan agar selalu tegar dan semangat dalam menjalani roda kehidupan
yang pahit.
Negatif =
Thuppy rela berkorban menjadi seorang pelacur hanya untuk mendapatkan
sepeser uang dan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
®
Amanat
: Setiap manusia
pasti pernah mendapatkan suatu masalah. Namun, kita harus menyelesaikan masalah
itu dengan cara yang benar. Tapi tidak dengan melakukan hal negative untuk
menyelesaikannya karena, Tuhan tidak akan memberikan ujian melebihi batas
kemampuan manusia itu sendiri.
II.
Unsur
Ekstrinsik
® Isi : Cerpen ini berisi percintaan dua manusia dari Thailand yang bernama
Thuppy dan Oley.
®
Pengarang
: Kisah dalam
cerpen ini sangat mengharukan karena disini, kita mengetahui arti kehidupan
yang sebenarnya. Pengarang memberikan cerminan untuk pembaca agar hidup di
dunia ini yang lebih baik.
III.
Ringkasan
Seorang
gadis cantik Thailand yang bernama Thuppy menyadari bahwa dia tidak memiliki
airmata kesedihan tapi dia memiliki airmata kebahagiaan yang berlimpah.
Ungkapan sayang yang dituturkan oleh ibunya berupa sebuah pukulan keras.
Pamannya pun berkata bahwa dia sayang Thuppy tapi dia menjual Thuppy ke sebuah
klub malam di tepian Mekhong.
Akhirnya,
Thuppy menyadari bahwa sesungguhnya kata sayang tidak ada di dunia ini.
Meskipun Thuppy menjalani kehidupannya yang berat tetapi dia memiliki semangat
hidup yang kuat. Hingga suatu hari, ada seorang laki – laki tampan yang
menerima keadaan Thuppy dengan lapang dada.
Namun,
hal ini membuat Thuppy semakin lemah karena dia tidak bisa memberikan senyuman
untuk para lelaki hidung belang di klub malam. Sehingga, Thuppy tidak ingin
merajut sebuah hubungan dengan Oley. Menurut Thuppy, arti senyuman itu
sangatlah besar tanpa senyuman mungkin dia tidak akan mendapatkan sepeser uang
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hari
berjalan dengan cepat seperti roda yang berputar. Selembar kertas terselip di
bawah pintu ternyata itu pesan dari Oley bahwa dia sangat mencintainya. Dan
saat itu juga, Thuppy mengetahui bahwa Oley sudah meninggal dunia. Meskipun
mayat Oley terapung – apung di Mekhong tetapi Thuppy tetap tersenyum.
Semoga bermanfaat bagi anda semua, dan jangan sungkan untuk membagi SHARE dan LIKE nya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar